Minggu, 21 Desember 2014

Menapak Jejak Amien Rais


Judul: Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk Ayah Tercinta

Malam itu, sebuah telepon berdering untuk bapak. Telepon penting nan genting. Bapak yang saat itu berada dalam perjalanan, diminta segera datang ke rumah Pak Habibie. Hampir semua pimpinan partai politik dan pimpinan fraksi telah berada disana. Termasuk diantaranya adalah Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Hamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra. Selain para politisi dari Poros Tengah dan Golkar, ada juga perwira tinggi TNI. Setiba di kediaman Habibie, bapak langsung didaulat. Jendral Wiranto spontan menepukkan tangannya di bahu bapak.

“Bismillah Pak Amien, TNI ada dibelakang anda, jika Pak Amien bersedia dicalonkan menjadi presiden”, demikan kata kata Jendral Wiranto, yang saat itu merupakan panglima tinggi ABRI. Sebuah daulat yang diamini oleh semua orang yang berada dalam ruangan tersebut.
Bapak berkisah padaku, ia sungguh berada dalam sebuah dilemma. Menjadi Presiden. Memegang tampuk kepemimpinan paling tinggi di negara ini. Menjadi pengambil kebijakan akhir dalam setiap urusan pemerintah dan rakyatnya.

Jawaban bapak atas pertanyaan Permadi dalam sebuah seminar pra-reformasi mengiang kembali, “Pak Amien, beranikah Anda menjadi Presiden?” dan bapak menjawab, “Insya Allah Berani’’

Ia berani, karena kata kata itu semula ia maksudkan hanya sebagai wacana ice breaker untuk memecah kebuntuan demokrasi di masa orde baru. Bapak tahu benar, tidak ada celah sedikitpun untuk menjadi presiden saat itu.

Tapi sekarang? Tawaran menjadi Presiden bukanlah wacana, tapi sangat dekat didepan mata. Diusung Golkar, TNI, dan Poros Tengah. Jadi, sangat kuat dukungan di MPR. Perjuangan untuk rakyat secara konkret akan bisa segera terlaksana, seperti yang dicita-citakan bapak.
Ketika bapak menceritakan apa yang terjadi pada malam itu, aku membayangkan seperti menjadi seseorang yang melihat harta karun berlimpah tak bertuan ada didepan mata. Aku pasti akan mengambilnya. Tapi bapak, tidak.

Bapak berkonsultasi dulu dengan ibunda tercintanya tentang tawaran ini, namun nenekku kemudian memberi nasehat, “Mien, tanggung jawabmu di MPR baru saja dimulai. Kamu telah disumpah menjadi ketua MPR untuk masa bakti 5 tahun. Jangan berbelok di tikungan. Itu tidak bagus. Aku tidak setuju”.

Bapak dengan halus menampik tawaran Habibie, Wiranto, dan segenap politisi yang berkumpul di rumah Habibie malam itu. Tampuk kepemimpinan Indonesia akhirnya diterima oleh Abdurrahman Wahid sebagai calon dari Golkar, Poros Tengah, dan TNI, menyisihkan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan Presiden di Sidang Umum MPR 1999.

1 komentar:

  1. pak amien apak kabar y ??? kmarin sempat ramai ya titel tokoh reformasinya dicopot :(
    mungkin pak amin sedang roaming

    BalasHapus